1. Kerangka Hukum Pemilu
Di antara 15 (lima belas)
indikator tersebut, kerangka hukum pemilu menjadi salah satu indikator yang
sangat penting. Istilah ”kerangka hukum pemilu” mengacu pada semua
undang-undang dan dokumen hukum yang terkait dengan pemilu. Dalam rezim negara
demokratis dan konstitusional, kerangka hukum pemilu ini diatur dalam aturan
yang cukup beragam, berasal dari norma dasar seperti konstitusi dan aturan
hukum lainnya. Beberapa ketentuan yang mendasari adalah konsititusi, perjanjian
internasional, undang-undang pemilu, yurisprudensi, peraturan kode etik dan
peraturan terkait lainnya. Kerangka hukum pemilu ini disusun dengan
mempertimbangkan sejarah, kekhasan sosial, budaya dan aturan hukum yang berlaku
di masing-masing negara.
Dalam konteks penyelenggaraan
pemilu di Indonesia, pengaturan mengenai pemilu diatur mulai dari Konstitusi
(Undang-Undang Dasar), undang-undang Penyelengara yang mengatur lembaga atau
badan Penyalenggara Pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP, serta
undang undang Penyelenggaraan yaitu undang-undang yang mengatur mengenai Pemilu
Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden , serta Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota. Apabila dilihat dari substansi undang-undangnya masih
terdapat beberapa permasalahan dalam kerangka hukum pemilu, misalnya pegaturan
mengenai defenisi kampanye yang tidak jelas. Defenisi kampanye berdasarkan
pelaksanaan pemilu selama ini menimbulkan multi tafsir antara lembaga
penyelenggara pemilu dengan kepolisian dan kejaksaan dalam menegakkan
pelanggaran pidana pemilu. Selain itu pengertian mengenai pelanggaran
administrasi dan sengketa antar peserta pemilu juga tidak dijelaskan secara
rinci. Hal ini dapat berdampak pada adanya pelanggaran administrasi akan tetapi
tidak dapat dijatuhkan sanksi dikarenakan tidak menjelaskan secara rinci
mengenai pelanggaran administrasi tersebut.
Berbagai permasalahan ini
memerlukan tindakan penyelesaian yang dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk
undang-undang (DPR dan Pemerintah) melalui revisi perundang-undangan, atau
melalui tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU atau Bawaslu)
melalui pembentukan peraturan teknis penyelenggaraan Pemilu. Tindakan kedua
dalam bentuk pembentukan peraturan teknis penyelenggaraan pemilu oleh KPU atau
Bawaslu lebih mudah dilakukan meskipun memiliki resiko tertentu. Tanpa adanya
tindakan ini, maka dapat diprediksi penyelenggaraan pemilu di kemudian hari
akan bermasalah.
2. Penegakan Hukum Pemilu
Kerangka hukum pemilu juga harus
mencakup mekanisme yang efektif untuk memastikan berjalannya penegakan hukum
pemilu dan penegakan hak-hak sipil. Penegakan hak sipil dimaksud adalah untuk
melindungi hak-hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Prinsipnya, kerangka
hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik
berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang
berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih.
Untuk memastikan terjaminnya
prinsip-prinsip penegakan hukum tersebut, International IDEA mengajukan empat
daftar periksa (check list) untuk menguji terhadap materi kerangka hukum
yang akan mengatur penyelenggaraan pemilu yakni:
a.
Apakah
peraturan perundang-undangan pemilu mengatur mekanisme penyelesaian hukum yang
efektif untuk keperluan penegakan hukum pemilu?
b.
Apakah
peraturan perundang-undangan pemilu secara jelas menyatakan siapa yang dapat
mengajukan pengaduan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan pemilu?
apakah juga dijelaskan prosedur pengajuan pengaduan tersebut?
c.
Apakah
peraturan perundang-undangan pemilu mengatur hak pengajuan banding atas
keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke pengadilan yang berwenang?
d.
Apakah
peraturan perundang-undangan pemilu mengatur batas waktu pengajuan,
pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum atas pengaduan?
Apabila dilihat ketentuan
mengenai penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan mengacu kepada daftar
periksa diatas secara sekilas dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pemilu di
Indonesia sudah dapat menjamin pelaksanaan pemilu yang demokratis. Hal ini
dapat dilihat dari adanya mekanisme yang mengatur penyelesaian hukum yaitu KPU untuk
menyelesaikan pelanggaran administrasi, kepolisian dan kejaksaan untuk
menyelesaikan pelanggaran pidana, serta Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
Selain itu juga diatur mengenai pihak-pihak dapat melaporkan pelanggaran
peraturan perundang-undangan pemilu, hak untuk mengajukan banding atas
keputusan yang dibuat oleh penyelenggara, serta batas waktu untuk melaporkan
dan memproses pelanggaran. Akan tetapi dalam prakteknya terdapat beberapa
kendala dalam penegakannya, sebagai contoh adalah jangka waktu untuk melaporkan
pelanggaran yang sangat singkat. Selain itu waktu yang diberikan kepada Bawaslu
untuk menindaklanjuti laporan juga sangat singkat yang berdampak pada kesulitan
dalam pengumpulan alat bukti. Masalah lain adalah tidak adanya wewenang Bawaslu
untuk memanggil paksa pihak diduga melakukan tindak pidana untuk dimintai
keterangannya.
No comments:
Post a Comment